Sebuah momen ringan namun sarat makna politik terjadi di kompleks Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada Rabu lalu. Saat pa...
POLITIKAL.ID - Sebuah momen ringan namun sarat makna politik terjadi di kompleks Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada Rabu lalu. Saat para menteri selesai menghadiri acara bersama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko Infrastruktur Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Menko PMK Pratikno, dan Menko Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) tampak meninggalkan lokasi terlebih dahulu.
Namun berbeda dengan rekan-rekannya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa justru tetap berdiri di depan backdrop acara, dikerumuni oleh para wartawan yang sudah menunggunya sejak awal.
Momen tersebut terekam jelas oleh kamera media dan segera viral di berbagai platform sosial. Dalam video itu, Purbaya terlihat sempat tersenyum kecil saat menyadari dirinya ditinggal sendirian. Dengan tenang, ia berkata,
“Hehe… yang lain sudah pergi, jadi saya saja yang jawab, ya.”
Kalimat sederhana itu disambut tawa para jurnalis. Namun di balik tawa itu, banyak pihak melihat adanya pesan politik tersirat di balik peristiwa yang tampak sepele tersebut.
Menurut analis komunikasi politik Hendri Satrio atau yang akrab disapa Hensa, momen tersebut tidak bisa dilihat sekadar sebagai adegan lucu di depan kamera. Dalam wawancaranya, Hensa menegaskan bahwa dalam politik, setiap gestur dan interaksi antarpejabat bisa mengandung pesan tersirat, baik positif maupun negatif.
“Mengenai peristiwa Menteri Keuangan Purbaya yang ditinggalkan para Menko dalam sesi doorstop, meskipun terjadi dalam suasana bercanda, hal tersebut tetap memerlukan respons yang serius,” kata Hensa kepada wartawan, Jumat (17/10/2025).
Menurutnya, ada dua sisi yang bisa ditafsirkan dari momen tersebut.
Dari sisi positif, para Menko mungkin ingin memberikan ruang penuh kepada Purbaya sebagai pihak yang paling berwenang menjawab isu sensitif, terutama terkait pembiayaan proyek strategis nasional seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh). Artinya, mereka menaruh kepercayaan penuh pada Purbaya untuk mewakili pemerintah di hadapan publik.
Namun, dari sisi lain, bisa juga tersirat pesan politis yang lebih dalam semacam jarak komunikasi atau sinyal enggan terlibat dalam isu yang tengah menjadi sorotan publik.
“Dari sudut pandang lain, momen itu juga dapat mengindikasikan sikap seperti ‘biarkan Purbaya yang bertanggung jawab,’ atau bahkan menyiratkan nada enggan: ‘saya tidak ingin berurusan dengan Purbaya’,” jelas Hensa.
Dalam dinamika pemerintahan, momen seperti ini kerap menjadi simbol dua arah. Bagi sebagian pihak, berani tampil sendirian di depan media adalah bentuk tanggung jawab dan kepemimpinan. Tetapi bagi pengamat politik, kejadian semacam ini juga bisa mencerminkan ketidaksinkronan antarmenteri dalam mengelola isu strategis.
Isu proyek Whoosh sendiri sedang menjadi perhatian nasional, terutama soal pembiayaan lanjutan dan restrukturisasi utang yang sempat menuai perdebatan. Saat para menteri memilih diam, Purbaya menjadi satu-satunya yang menjawab pertanyaan media, termasuk soal sumber dana dan posisi APBN dalam proyek tersebut.
Dalam kesempatan itu, Purbaya menegaskan:
“Tidak ada dana dari APBN yang digunakan untuk membayar utang Whoosh. Ini murni restrukturisasi, bukan pembiayaan baru.”
Pernyataan tersebut sekaligus menjadi headline di berbagai media, menegaskan posisinya sebagai figur teknokrat yang siap menjelaskan kebijakan publik secara terbuka.
Meski publik banyak memuji ketenangan dan keluwesan Purbaya, Hensa mengingatkan bahwa dukungan publik tidak selalu sejalan dengan dukungan politik internal kabinet.
“Meskipun rakyat condong mendukung Purbaya, hal itu belum tentu mencerminkan kesepakatan pihak-pihak yang jadi rekannya di pemerintahan,” ujarnya.
Menurutnya, Purbaya perlu menjadikan momen ini sebagai refleksi dan peringatan, agar lebih berhati-hati dalam komunikasi politik. Ia mengutip pepatah:
“Kalau mau belok, beri sen dulu,”
yang berarti bahwa dalam politik, setiap langkah dan pernyataan harus diperhitungkan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau resistensi.
Dengan kata lain, sikap terbuka di media memang penting, tetapi koordinasi dan keselarasan dengan rekan sejawat juga menjadi kunci stabilitas politik dalam kabinet.
Fenomena seperti ini menggambarkan bagaimana politik modern kini tidak hanya bermain di ruang rapat, tetapi juga di ruang simbol dan gestur publik.
Setiap senyum, langkah kaki, hingga keputusan untuk tetap atau pergi dari kerumunan wartawan bisa menjadi bahan tafsir dan opini publik.
Dalam konteks ini, Purbaya tampak tetap tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda tersinggung. Justru, caranya menghadapi momen itu dengan humor memperlihatkan kedewasaan dan kematangan komunikasi publik.
Dilansir dari Tribunnews.com
(Redaksi)